Tujuh tahun menjadi buruh di Korea, benar-benar tidak
disia-siakan Mugiyanto (33 tahun). Bapak satu anak yang tinggal di Dusun
Silowan, Kelurahan Pager Sari, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, ini merasa cukup mengais modal dengan tiga tahun menjadi buruh meubel
(1997-2000), dan empat tahun menjadi buruh tekstil (2005-2009) sebagai tenaga
kerja Indonesia (TKI) di Korea. Setelah itu, ia menekuni wirausaha pembuatan
batako, paving, bis beton, kolong selokan, dan lain-lain.
“Tujuh tahun menjadi TKI merupakan waktu yang sangat singkat
untuk mencari modal. Sebab itu, saya tidak menyia-nyiakan waktu yang relatif
singkat tersebut untuk bekerja dan menabung. Soalnya, cita-cita saya pulang ke
tanah air akan menjalani wirausaha,” kata Mugiyanto di Semarang, Minggu siang
(19/12).
Mugiyanto menceritakan, untuk melakoni wirausaha pembuatan
batako, paving, bis beton, kolong selokan dan beragam jenis lainnya ini,
memerlukan modal kurang lebih Rp 200 juta. Rinciannya, untuk tanah tempat
memproduksi dan gudang sederhana dibutuhkan uang sebesar Rp 90 juta. Membeli
peralatan dan mesin cetak batako, paving, bis beton dibutuhkan uang sebesar Rp
45 juta. Membeli dua unit truk kecil untuk mengantar produk pesanan dan
operasional diperlukan uang sebesar Rp 100 juta. Belum terhidung bahan-bahan,
seperti pasir, sirtu, dan semen.
“Jadi, untuk memulai membuka wirausaha pembuatan batako,
paving, bis beton, kolong selokan, dan sejenisnya ini, saya menyiapkan modal
kurang lebih sebesar Rp 225 juta. Semua uang saya peroleh dari menabung selama
menjadi TKI di Korea,” ungkap Mugiyanto.
“Untuk mencari modal sebesar ini sangat sulit saya dapatkan
di kampung, meskipun dengan cara pinjam kredit bank. Untuk bisa pinjam kredit
bank, selain ada jaminan kepemilikan, juga masih dicek uji kelayakan usahanya.
Wirausaha pemula seperti saya dengan modal ratusan juta, tidak akan mudah
mendapatkan pinjam kerdit pada bank,” tambahnya memaparkan.
Mugiyanto menyadari sekali dengan kemampuan pendidikan yang
dimiliki. Ia mengaku, hanya lulusan SMP PGRI di Bergas pada 1994. Kemudian
melanjutkan ke SMA di Ambarawa namun tidak sampai tamat alias potol (putus)
tengah jalan. “Saya ini cuma lulusan SMP swasta, SMA Ambarawa potol (putus)
tengah jalan. Jadi, bisanya ya cuma bekerja sebagai buruh. Tapi saya punya
target, bahwa tidak selama bekerja sebagai buruh. Saya ingin usaha sendiri,
kalau sudah punya modal,” ungkap Mugiyanto mengenang masa lajangnya dulu.
Pada 1997 itu, kata Mugiyanto, ada lowongan kerja bagian
meubel di Korea. “Waktu itu persyaratan bekerja menjadi TKI di Korea tidak
seketat seperti sekarang. Tanpa banyak pertimbangan saya langsung mendaftarkan
diri dan kemudian diterima,” kata Mugiyanto.
Di Korea itu, lanjut Mugiyanto, ia tiga tahun bekerja di
meubel (1997-2000) terus pulang ke tanah air. “Gaji kerja di bagian meubel
waktu itu hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari di Korsel. Kalau pun, ada
lebihnya hanya bisa untuk pulang ke tanah air,” tambahnya.
Setelah selang lima tahun berada di tanah air, Mugiyanto,
ternyata belum juga bisa memulai wirausaha yang dicita-citakannya, memproduksi
batako, paving, bis beton, dan kolong selokan itu. Hambatannya, sebut
Mugiyanto, pada faktor modal. Namun, ia mengaku, tidak merugi. Selama lima
tahun di tanah air, ia manfaatkan dengan belajar mendalami pembuatan batako,
paving, bis beton, kolong selokan, dengan bekerja pada orang lain yang
dianggapnya lebih ahli.
Walhasil, Mugiyanto pun makin bersemangat mencari modal
dengan mengadu nasib sebagai TKI di Korea kedua kalinya. Ia pun kembali menjadi
buruh di pabrik tekstil. Kali ini, Mugiyanto mendapatkan gaji lebih besar, Rp
15 juta perbulan. “Saya lakoni jadi buruh tekstil ini selama empat tahun
(2005-2009),” kata Mugiyanto. “Saya sudah bertekad, tidak akan memperpanjang
kontrak lagi. Saya ingin menekuni wirausaha batako, paving, bis beton, dan
kolong selokan,” tambahnya.
Dari wirausaha membuat batako, paving, bis beton, dan kolong
selokan ini, Mugiyanto mengaku, mendapatkan untung kurang lebih Rp 5 juta
sampai Rp 7,5 juta perbulannya. Tetapi, ia merasa lebih tenang dan bebas
mengatur waktu. “Yang penting, kalau ada janji dengan pemesan, harus dilayani
tepat waktu,” pungkas Mugiyanto.
Sumber: www.kampungtki.com.
|
:)
ReplyDelete